Perang
Topat: Simbol Persaudaraan di Lombok
oleh
Ni
Nyoman Liana Savitri
Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki budaya yang sangat beragam. Dari Sabang sampai Merauke, kita
dapat melihat berbagai macam budaya dan tradisi yang tentunya memiliki nilai
dan maknanya tersendiri. Salah satunya yang terdapat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Di sana terdapat salah satu
tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut dikenal dengan
nama Perang Topat. Perang tersebut mampu merekatkan rasa persatuan di kalangan
masyarakat Lombok walaupun berbeda latar belakang dan kepercayaan. Bupati
Lombok Barat, H. Fauzan Khalid berkata, ”Perang Topat merupakan bentuk pluralisme karena
melibatkan dua umat berbeda agama,
yakni
Islam dan Hindu. Perang
yang dimaksud bukanlah perang yang saling menyakiti satu sama lain ataupun
saling bercucuran
darah, bahkan sampai mengorbankan jiwa seseorang, tetapi perang yang dimaksud
yaitu,
perang topat atau perang ketupat yang membawa makna kedamaian, toleransi, dan
kerukukan antarumat muslim dan Hindu yang
dilaksanakan dengan melempar ketupat satu dengan
yang lain.
Awal mula terciptanya tradisi
Perang Topat, yaitu
ketika Kerajaan Karangasem Bali mulai berkuasa di Pulau Lombok. Kerajaan tersebut dipimpin oleh
seorang raja yang bernama Anak Agung Ngurah Made Karang pada tahun 1720 Masehi.
Konon, menurut
cerita kala itu pembangunan pura untuk tempat ibadah bagi umat Hindu mengalami penolakan dari masyarakat setempat.
Terjadilah ketegangan antarkedua
belah
pihak. Di tengah ketegangan yang hampir berujung pada perang fisik, muncullah
seorang kiai yang mendamaikan keduanya. Kiai tersebut menasehati kedua kelompok
dan mereka mulai menyadari akan pentingnya hidup rukun dan damai antarumat Hindu dengan umat Islam. Kiai tersebut
bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Walimilir. Beliau merupakan
penyiar agama Islam dari Demak. Suatu hari,
Datu
Wali Milir menghilang dan mengalami moksa (kebebasan dari ikatan duniawi).
Para murid Datu Sumilir pergi mencarinya dengan membawa ketupat sebagai bekal
perjalanan. Kemudian, ditemukanlah sebuah petilasan yang merupakan suatu tempat
yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang. Petilasan tersebut diyakini
sebagai milik Datu Sumilir. Tanpa disadari, para murid Datu Sumilir saling
melempar ketupat yang dibawa sebagai ungkapan perasaaan sukacita saat itu.
Sejarah Perang Topat erat kaitannya
dengan masa lalu Pura Lingsar sebagai tempat pelaksaanaan Perang Topat. Menurut
penuturan Bapak Yuda Madi selaku pemandu wisata (guide) di Pura Lingsar mengatakan bahwa suatu ketika Datu Sumilir
ingin menunaikan ibadah sholat. Namun,
saat
itu tidak ada air untuk wudu. Datu Wali Milir pun menancapkan tongkatnya
sebanyak tiga kali di Tanah Bayan. Ajaib, ketika tongkat tersebut ditarik air
pun muncrat dan melaju deras sehingga
terbentuklah kolam. Dalam bahasa Sasak disebut dengan istilah langser atau lengsar (air mancur dalam tanah) sehingga
desa tersebut hingga kini diberi nama Desa Lingsar.
Di era modern seperti sekarang
tempat pelaksanaan Perang Topat tidaklah berubah, yaitu di Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Pura
tersebut dipilih karena merupakan perwujudan sinkretisme menjadi wujud dari
beberapa golongan yang menjadikan itu sebagai tempat suci yang dipuja oleh tiga
kepercayaan. Dalam kawasan tersebut terdapat dua bangunan yang disakralkan oleh
masing-masing umat, yaitu Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan bagi umat
Hindu dan tempat untuk melaksanakan upacara Pujawali
(peringatan lahirnya pura tersebut dan untuk menghormati Bhatara Gunung
Rinjani, Bhatara Gunung Agung, serta Bhatara
Lingsar yang dipercaya sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan
Yang Maha Esa). Bangunan kedua, kemaliq (yang
berarti keramat/suci) yang lebih dulu ada dan disakralkan sebagian umat muslim
Sasak serta masih digunakan untuk kegiatan upacara dan ritual-ritual keagamaan
seperti sunat, upacara
potong rambut bayi (ngurisan). Kemaliq juga digunakan untuk melakukan upacara napak tilas dalam
rangka mengenang jasa penyebar agama Islam di Pulau Lombok, Raden Sumilir.
“Perang Topat mulanya hanya
dilaksanakan oleh umat muslim saja”,
kata
Pak Yuda Madi. Namun, Perang Topat yang terkenal di masyarakat saat ini
dilaksanakan oleh umat Islam
dan umat Hindu karena pada saat
pelaksanaan Perang Topat bertepatan dengan Perayaan Pujawali di Pura Lingsar.
Seiring berjalannya waktu,
kini
semua orang bisa ikut berpatisipasi dalam pelaksanaan Perang Topat dengan
tujuan untuk meneruskan tradisi yang telah lama agar tidak punah.
Perang Topat dilaksaksanakan pada
hari ke-15 bulan ke-7 pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih
kapitu (purnama bulan ketujuh) atau pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut
purnama sasih keenem (purnama bulan keenam).
Adapun
rangkaian pelaksanaan perang topat diawali dengan
melakukan pembersihan pura dan alat-alat yang diperlukan secara bersama-sama oleh
umat Islam dan umat Hindu dengan dibantu oleh pemangku atau orang yang
bersangkutan. Setelah itu, melakukan pemasangan abah-abah (bahan-bahan hiasan) berupa kain,
bendera, payung, tombak, dan lain-lain. Selanjutnya, ada upacara yang dilaksanakan sehari sebelum
Perang Topat berlangsung yang dinamakan penaek
gawe. Penaek gawe dalam bahasa
Sasak diartikan sebagai syukuran bahwa akan ada acara keesokan harinya
sekaligus mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk acara tersebut. Setelah
itu, pada malam hari sebelum Perang Topat dimulai para ibu dari masing-masing
kubu membuat dan memasak ketupat yang akan digunakan. Ketupat dipilih sebagai media atau
senjata dalam perang karena saat mencari Datu Wali Milir rombongan membawa
ketupat sebagai bekal. Ketupat yang dibuat pun dari dulu hingga kini tidak
mengalami perubahan. Dibuat dalam
ukuran kecil dan berbentuk bulat atau lazim disebut ketupat nasi. Ketupat
dibentuk bulat agar pada saat melakukan perang tidak terasa sakit ketika
mengenai lawan dan ukurannya yang kecil memudahkan dalam proses pembuatan. Keesokan
harinya, perang akan dimulai saat rarak
kembang waru atau waktu gugurnya bunga pohon waru sekitar pukul 17.30 Wita.
Dahulu, gugurnya bunga waru pada sore hari sebagai bentuk kepatuhan pada
hukum alam. Selain itu, bunga waru memiliki keunikan diantaranya warna bunganya pada pagi hari yang
akan terlihat seperti sinar mentari. Menjelang siang warnanya semakin menghangat dan
berujung pada waktu senja warna bunga tersebut berubah menjadi semerah jingga kemudian gugur setiap pukul
17.30 Wita. Namun, saat ini gugurnya bunga pohon waru
tidak menjadi dasar waktu dimulainya
Perang
Topat. Hal itu disebabkan bunga pohon waru yang ada sekarang ini dapat berguguran kapanpun. Akan tetapi, Perang Topat
tetap dilaksanakan pada pukul 17.30 Wita. Pada saat itulah prosesi Perang Topat
diawali dengan mepurwadaksina (mengitari
pura ke arah kanan sebanyak tiga kali)
yang berada di kawasan bangunan kemaliq.
Prosesi ini diikuti oleh kedua umat beserta tokoh agama dari keduabelah pihak.
Berbagai kesenian ditampilkan seperti, tari bala anjani, presean, gendang belek, dan
lain-lain. Rombongan berjalan menuju Pura Kemaliq. Cukup lama prosesi yang
terjadi di dalamnya hingga mereka keluar dan membawa beberapa baki yang berisikan
ketupat. Selanjutnya, kedua kubu berkumpul pada masing-masing titik yang telah
ditentukan. Umat Hindu berkumpul di halaman Pura Gaduh dan umat Islam berkumpul
di halaman Pura Kemaliq. Pelemparan ketupat dimulai ketika tokoh yang dihormati
dari masing-masing kubu melempar ketupat terlebih dahulu untuk pertama kalinya.
Perang pun pecah, sorak-sorai
antara peserta dan penonton memenuhi kawasan tersebut. Riuh tawa takterhindarkan.
Cahaya kebahagiaan pun terpancar jelas dari wajah kedua kubu. Alih-alih menjauh, mereka malah semakin mendekat ke arah datangnya ketupat. Ketupat yang telah digunakan pada
saat berperang seringkali diperebutkan oleh masyarakat setempat dan nantinya
akan ditancapkan di sawah milik mereka dengan harapan hasil panen berikutnya akan
melimpah ruah. ”Ketupat
itu simbol kesuburan karena memiliki makna beras berasal dari padi. Padi berasal dari tanah dan
dikembalikan lagi ke tanah”, kata Pak Yuda Madi.
Antusiasme masyarakat hingga saat
ini sangatlah tinggi, bahkan tidak hanya
suku Sasak yang mengikutinya,
tetapi
dari berbagai penjuru Nusantara yang berjumlah ratusan orang datang untuk
menyaksikan ritual tradisi Perang Topat
tersebut. Hal
ini terlihat seperti saat Perang Topat yang digelar pada tanggal 14-22 November
2018 yang dihadiri ratusan
orang. Beberapa wisatawan
ikut melempar ketupat ke arah warga yang sebelumnya melempar ketupat ke
arahnya. Mereka tampak antusias menyaksikan sebuah pemandangan yang belum
pernah ada di negara mereka. Apalagi,
ritual
ini adalah upacara yang digelar oleh etnis berbeda. Even bernuansa pariwisata
ini diharapkan mampu menjadi salah satu penopang untuk mewujudkan NTB beriman
dan berdaya saing. Wakil Bupati Lombok Barat, H.Mahrip mengatakan bahwa Perang Topat
sebagai wujud kebersamaan dan keharmonisan antarumat Islam dan Hindu. Ia juga
menjelaskan bahwa Perang Topat memiliki beberapa manfaat antara lain untuk mewujudkan rasa syukur kepada sang pencipta
atas sumber daya air yang diberikan,
adanya
rasa kebersamaan yang timbul antarumat beragama yang menggelar acara tersebut.
Dari sisi ekonomi, Perang Topat dapat menambah pendapatan masyarakat setempat
serta merupakan even NTB dan hanya satu di dunia sehingga pasti laku
dijual ke wisatawan untuk mengetahui
bagaimana sejarah dan proses perang topat. “Perang Topat ini kita jadikan even
bagaimana kita melakukan perubahan
dari sisi kebersamaan beragama, pendidikan, pariwisata, dan yang lainnya untuk
kesejahteraan masyarakat”, ujarnya. Rasa kebersamaan,
kekeluargaan, keharmonisan yang terlihat dalam
pelaksanaan tradisi Perang Topat tampaknya
bisa menjadi contoh nyata dalam mengembangkan hidup berdampingan di antara
masyarakat yang sangat pluralistik.
Oleh
karena itu, tradisi Perang Topat yang memiliki makna sebagai simbol
persaudaraan, persatuan, dan kedamaian dalam upaya menjaga kerukunan
antarumat beragama yang tak hanya sebatas kata-kata, melainkan penyatuan umat Islam dan Hindu di daerah
Lingsar dengan tujuan kegiatan ini diharapkan bisa memberikan pelajaran kepada
generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Idntimes (2018, 23
November). Perang Topat di NTB Bukan Sembarang Perang Brutal. Diperoleh 26
Februari 2019, dari https://www.idntime.com/hype/fun-fact/amp/kementerian-pariwisata/perang-topat-ntb-csc
Jayadi,Suparman(2017, 1
Desember).Perang Topat:Simbol Keharmonisan Agama dan Budaya. Diperoleh 21
Februari 2019,dari https://www.researchgate.net/
publication/322287385_PERANG_TOPAT_SIMBOL_KEHARMONISAN_AGAMA_DAN_BUDAYA
Literasi
publik.com(2018, 5 November).Perang Topat, Perang Perdamaian Umat Islam dan
Hindu. Diperoleh 26 Februari 2019,dari https://www.literasipublik.com/
perang-topat-perdamaian-umat-islam-dan-hindu.
Perang Topat,Tradisi
Kerukunan Umat Islam dan Hindu di Lombok..Republika.co.id.14 Desember 2016.
Diperoleh 23 Februari 2019.https://m.republika.co.id/amp/oi4otr382
Regional kompas.(2016,
14 Desember).Tradisi Perang Topat,Simbol Keharmonisan Islam dan Hindu di
Lombok. Diperoleh 23 Februari 2019,dari https://regional.kompas.com/read/2016/12/14/08075451/tradisi.perang.topat.simbol.keharmonisan.islam.dan.hindu.di.lombok.
Wartantb.(2018, 14
Januari).Perang Topat,Tradisi Unik Suku
Sasak. Dikutip 24 Februari 2019, dari http://www.wartantb.com/perang-topat-tradisi-unik-suku-sasak/#.
EmoticonEmoticon