Thursday, July 16, 2020

Perang Topat: Simbol Persaudaraan di Lombok


Perang Topat: Simbol Persaudaraan di Lombok
oleh
Ni Nyoman Liana Savitri


Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki budaya yang sangat beragam. Dari Sabang sampai Merauke, kita dapat melihat berbagai macam budaya dan tradisi yang tentunya memiliki nilai dan maknanya tersendiri. Salah satunya yang terdapat di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Di sana terdapat salah satu tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut dikenal dengan nama Perang Topat. Perang tersebut mampu merekatkan rasa persatuan di kalangan masyarakat Lombok walaupun berbeda latar belakang dan kepercayaan. Bupati Lombok Barat, H. Fauzan Khalid berkata, ”Perang Topat merupakan bentuk pluralisme karena melibatkan dua umat berbeda agama, yakni Islam dan Hindu. Perang yang dimaksud bukanlah perang yang saling menyakiti satu sama lain  ataupun saling bercucuran darah, bahkan sampai mengorbankan jiwa seseorang, tetapi perang yang dimaksud yaitu, perang topat atau perang ketupat yang membawa makna kedamaian, toleransi, dan kerukukan antarumat muslim dan Hindu yang  dilaksanakan dengan melempar ketupat satu dengan yang lain.
Awal mula terciptanya tradisi Perang Topat, yaitu ketika Kerajaan Karangasem Bali mulai berkuasa di Pulau Lombok. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang bernama Anak Agung Ngurah Made Karang pada tahun 1720 Masehi. Konon, menurut cerita kala itu pembangunan pura untuk tempat ibadah bagi umat Hindu  mengalami penolakan dari masyarakat setempat. Terjadilah ketegangan antarkedua belah pihak. Di tengah ketegangan yang hampir berujung pada perang fisik, muncullah seorang kiai yang mendamaikan keduanya. Kiai tersebut menasehati kedua kelompok dan mereka mulai menyadari akan pentingnya hidup rukun dan damai antarumat  Hindu dengan umat Islam. Kiai tersebut bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Walimilir. Beliau merupakan penyiar agama Islam dari Demak. Suatu hari, Datu Wali Milir menghilang dan mengalami moksa (kebebasan dari ikatan duniawi). Para murid Datu Sumilir pergi mencarinya dengan membawa ketupat sebagai bekal perjalanan. Kemudian, ditemukanlah sebuah petilasan yang merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang. Petilasan tersebut diyakini sebagai milik Datu Sumilir. Tanpa disadari, para murid Datu Sumilir saling melempar ketupat yang dibawa sebagai ungkapan perasaaan sukacita saat itu.
Sejarah Perang Topat erat kaitannya dengan masa lalu Pura Lingsar sebagai tempat pelaksaanaan Perang Topat. Menurut penuturan Bapak Yuda Madi selaku pemandu wisata (guide) di Pura Lingsar mengatakan bahwa suatu ketika Datu Sumilir ingin menunaikan ibadah sholat. Namun, saat itu tidak ada air untuk wudu. Datu Wali Milir pun menancapkan tongkatnya sebanyak tiga kali di Tanah Bayan. Ajaib, ketika tongkat tersebut ditarik air pun muncrat dan melaju deras sehingga terbentuklah kolam. Dalam bahasa Sasak disebut dengan istilah langser atau lengsar (air mancur dalam tanah) sehingga desa tersebut hingga kini diberi nama Desa Lingsar.
Di era modern seperti sekarang tempat pelaksanaan Perang Topat tidaklah berubah, yaitu di Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Pura tersebut dipilih karena merupakan perwujudan sinkretisme menjadi wujud dari beberapa golongan yang menjadikan itu sebagai tempat suci yang dipuja oleh tiga kepercayaan. Dalam kawasan tersebut terdapat dua bangunan yang disakralkan oleh masing-masing umat, yaitu Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu dan tempat untuk melaksanakan upacara Pujawali (peringatan lahirnya pura tersebut dan untuk menghormati Bhatara Gunung Rinjani, Bhatara Gunung Agung, serta Bhatara Lingsar yang dipercaya sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa). Bangunan kedua, kemaliq (yang berarti keramat/suci) yang lebih dulu ada dan disakralkan sebagian umat muslim Sasak serta masih digunakan untuk kegiatan upacara dan ritual-ritual keagamaan seperti sunat, upacara potong rambut bayi (ngurisan). Kemaliq juga digunakan untuk melakukan upacara napak tilas dalam rangka mengenang jasa penyebar agama Islam di Pulau Lombok, Raden Sumilir.
“Perang Topat mulanya hanya dilaksanakan oleh umat muslim saja”, kata Pak Yuda Madi. Namun, Perang Topat yang terkenal di masyarakat saat ini dilaksanakan oleh umat Islam dan umat Hindu karena  pada saat pelaksanaan Perang Topat bertepatan dengan Perayaan Pujawali di Pura Lingsar. Seiring berjalannya waktu, kini semua orang bisa ikut berpatisipasi dalam pelaksanaan Perang Topat dengan tujuan untuk meneruskan tradisi yang telah lama agar tidak punah.

Perang Topat dilaksaksanakan pada hari ke-15 bulan ke-7 pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kapitu (purnama bulan ketujuh) atau pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasih keenem (purnama bulan keenam). Adapun rangkaian pelaksanaan perang topat diawali dengan melakukan pembersihan pura dan alat-alat yang diperlukan secara bersama-sama oleh umat Islam dan umat Hindu dengan dibantu oleh pemangku atau orang yang bersangkutan. Setelah itu, melakukan pemasangan abah-abah (bahan-bahan hiasan) berupa kain, bendera, payung, tombak, dan lain-lain. Selanjutnya, ada  upacara yang dilaksanakan sehari sebelum Perang Topat berlangsung yang dinamakan penaek gawe. Penaek gawe dalam bahasa Sasak diartikan sebagai  syukuran bahwa akan ada acara keesokan harinya sekaligus mempersiapkan perlengkapan yang dibutuhkan untuk acara tersebut. Setelah itu, pada malam hari sebelum Perang Topat dimulai para ibu dari masing-masing kubu membuat dan memasak ketupat yang akan digunakan. Ketupat dipilih sebagai media atau senjata dalam perang karena saat mencari Datu Wali Milir rombongan membawa ketupat sebagai bekal. Ketupat yang dibuat pun dari dulu hingga kini tidak mengalami perubahan. Dibuat dalam ukuran kecil dan berbentuk bulat atau lazim disebut ketupat nasi. Ketupat dibentuk bulat agar pada saat melakukan perang tidak terasa sakit ketika mengenai lawan dan ukurannya yang kecil memudahkan dalam proses pembuatan. Keesokan harinya, perang akan dimulai saat rarak kembang waru atau waktu gugurnya bunga pohon waru sekitar pukul 17.30 Wita. Dahulu, gugurnya bunga waru  pada sore hari sebagai bentuk kepatuhan pada hukum alam. Selain itu, bunga waru memiliki keunikan diantaranya warna bunganya pada pagi hari yang akan terlihat seperti sinar mentari. Menjelang siang warnanya semakin menghangat dan berujung pada waktu senja warna bunga tersebut berubah menjadi semerah jingga kemudian gugur setiap pukul 17.30 Wita. Namun, saat ini gugurnya bunga pohon waru tidak menjadi dasar waktu dimulainya Perang Topat. Hal itu disebabkan bunga pohon waru yang ada sekarang ini dapat berguguran kapanpun. Akan tetapi, Perang Topat tetap dilaksanakan pada pukul 17.30 Wita. Pada saat itulah prosesi Perang Topat diawali dengan mepurwadaksina (mengitari pura ke  arah kanan sebanyak tiga kali) yang berada di kawasan bangunan kemaliq. Prosesi ini diikuti oleh kedua umat beserta tokoh agama dari keduabelah pihak. Berbagai kesenian ditampilkan seperti, tari bala anjani, presean, gendang belek, dan lain-lain. Rombongan berjalan menuju Pura Kemaliq. Cukup lama prosesi yang terjadi di dalamnya hingga mereka keluar dan membawa beberapa baki yang berisikan ketupat. Selanjutnya, kedua kubu berkumpul pada masing-masing titik yang telah ditentukan. Umat Hindu berkumpul di halaman Pura Gaduh dan umat Islam berkumpul di halaman Pura Kemaliq. Pelemparan ketupat dimulai ketika tokoh yang dihormati dari masing-masing kubu melempar ketupat terlebih dahulu untuk pertama kalinya. Perang pun pecah, sorak-sorai antara peserta dan penonton memenuhi kawasan tersebut. Riuh tawa takterhindarkan. Cahaya kebahagiaan pun terpancar jelas dari wajah kedua kubu. Alih-alih menjauh, mereka malah semakin mendekat ke arah datangnya ketupat. Ketupat yang telah digunakan pada saat berperang seringkali diperebutkan oleh masyarakat setempat dan nantinya akan ditancapkan di sawah milik mereka dengan harapan hasil panen berikutnya akan melimpah ruah. ”Ketupat itu simbol kesuburan karena memiliki makna beras berasal dari padi. Padi berasal dari tanah dan dikembalikan lagi ke tanah”, kata Pak Yuda Madi.
Antusiasme masyarakat hingga saat ini sangatlah tinggi, bahkan tidak hanya  suku Sasak yang mengikutinya, tetapi dari berbagai penjuru Nusantara yang berjumlah ratusan orang datang untuk menyaksikan ritual tradisi Perang Topat tersebut. Hal ini terlihat seperti saat Perang Topat yang digelar pada tanggal 14-22 November 2018 yang dihadiri ratusan orang. Beberapa wisatawan ikut melempar ketupat ke arah warga yang sebelumnya melempar ketupat ke arahnya. Mereka tampak antusias menyaksikan sebuah pemandangan yang belum pernah ada di negara mereka. Apalagi, ritual ini adalah upacara yang digelar oleh etnis berbeda. Even bernuansa pariwisata ini diharapkan mampu menjadi salah satu penopang untuk mewujudkan NTB beriman dan berdaya saing. Wakil Bupati Lombok Barat, H.Mahrip mengatakan bahwa Perang Topat sebagai wujud kebersamaan dan keharmonisan antarumat Islam dan Hindu. Ia juga menjelaskan bahwa Perang Topat memiliki beberapa manfaat antara lain untuk  mewujudkan rasa syukur kepada sang pencipta atas sumber daya air yang diberikan, adanya rasa kebersamaan yang timbul antarumat beragama yang menggelar acara tersebut. Dari sisi ekonomi, Perang Topat dapat menambah pendapatan masyarakat setempat serta merupakan even NTB dan hanya satu di dunia sehingga pasti laku dijual  ke wisatawan untuk mengetahui bagaimana sejarah dan proses perang topat. “Perang Topat ini kita jadikan even bagaimana kita melakukan perubahan dari sisi kebersamaan beragama, pendidikan, pariwisata, dan yang lainnya untuk kesejahteraan masyarakat”, ujarnya. Rasa kebersamaan, kekeluargaan, keharmonisan yang terlihat dalam pelaksanaan tradisi Perang Topat tampaknya bisa menjadi contoh nyata dalam mengembangkan hidup berdampingan di antara masyarakat yang sangat pluralistik. Oleh karena itu, tradisi Perang Topat yang memiliki makna sebagai simbol persaudaraan, persatuan,  dan kedamaian dalam upaya menjaga kerukunan antarumat beragama yang tak hanya sebatas kata-kata, melainkan penyatuan umat Islam dan Hindu di daerah Lingsar dengan tujuan kegiatan ini diharapkan bisa memberikan pelajaran kepada generasi berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Idntimes (2018, 23 November). Perang Topat di NTB Bukan Sembarang Perang Brutal. Diperoleh 26 Februari 2019, dari https://www.idntime.com/hype/fun-fact/amp/kementerian-pariwisata/perang-topat-ntb-csc
Jayadi,Suparman(2017, 1 Desember).Perang Topat:Simbol Keharmonisan Agama dan Budaya. Diperoleh 21 Februari 2019,dari https://www.researchgate.net/ publication/322287385_PERANG_TOPAT_SIMBOL_KEHARMONISAN_AGAMA_DAN_BUDAYA
Literasi publik.com(2018, 5 November).Perang Topat, Perang Perdamaian Umat Islam dan Hindu. Diperoleh 26 Februari 2019,dari https://www.literasipublik.com/ perang-topat-perdamaian-umat-islam-dan-hindu.
Perang Topat,Tradisi Kerukunan Umat Islam dan Hindu di Lombok..Republika.co.id.14 Desember 2016. Diperoleh 23 Februari 2019.https://m.republika.co.id/amp/oi4otr382
Regional kompas.(2016, 14 Desember).Tradisi Perang Topat,Simbol Keharmonisan Islam dan Hindu di Lombok. Diperoleh 23 Februari 2019,dari https://regional.kompas.com/read/2016/12/14/08075451/tradisi.perang.topat.simbol.keharmonisan.islam.dan.hindu.di.lombok.
Wartantb.(2018, 14 Januari).Perang Topat,Tradisi Unik Suku Sasak. Dikutip 24 Februari 2019, dari http://www.wartantb.com/perang-topat-tradisi-unik-suku-sasak/#.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon