JENIS-JENIS KONTEKS DALAM PRAGMATIK
Untuk
memahami lebih jauh mengenai konteks, berikut Huang (2007) menegaskan dengan
mengutip pendapat Ariel (1990), menurutnya ada tiga tipe konteks dalam
pragmatik, yaitu:
1)
konteks fisik (the physical context)
yang mengacu pada pengaturan fisik ucapan. Sebagai contoh interpretasi dari (a)
tergantung pada pengetahuan (penutur) dipandang dari konteks fisik ucapan,
yaitu, lokasi spatio-temporal ucapan.
(a)
He not the chief executive; he is. He’s
the managing director.
2)
konteks linguistik (the linguistic
context) yang mengacu pada ucapan-ucapan sekitarnya dalam wacana yang sama.
Apa yang telah disebutkan dalam wacana sebelumnya, misalnya, memainkan peran
penting dalam memahami konstruksi elips (penghilangan) yang digunakan oleh
Maria dalam wacana (b).
(b)
John : Who gave the waiter a large tip?
Mary
: Helen.
3)
Konteks pengetahuan umum (the general
knowledge context). Informasi yang diturunkan dari jenis konteks ini
menjelaskan mengapa (c) adalah pragmatis well-formed tetapi (d) pengecualian.
Hal ini karena, mengingat rel-dunia pengetahuan kita, sedangkan kita tahu bahwa
ada Kota Terlarang yang mengagumkan di Beijing, dan tidak ada atraksi turis di
Paris.
(c)
I went to Beijing last month. The
Forbidden City was magnificent.
(d)
I went to Paris last month. The Forbidden
City was magnificent.
Selain
Huang (2007) membagi konteks dalam tiga kelompok sebagaimana tanpak dalam
uraian di atas, maka Monica Crabtree dan Joice Powers (1991) dalam The Language Files, Material for an
Introduction to Language, Departement of Linguistics, the Ohio State University
memngelompokkan konteks dalam empat sub-bagian:
1)
The physical context,
(that is), where the conversation takes place, what objects are present, and
what actions are taking place.
konteks
fisik yaitu di mana terjadi percakapan, apa objek yang sedang dibicarakan,
(siapa yang) hadir, dan apa tindak tutur (yang diambil sesuai dengan) tempat;
2)
Epistemic context,
background knowledge shared by the speakers and hearers.
‘konteks epistemis, (mengacu ke) latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh
pembicara dan pendengar;
3)
Linguistic context,
utterances previous to the utterances under consideration.
‘konteks linguistik, ucapan-ucapan sebelumnya ke dalam pertimbangan;
4)
Social context, the
social relationship and setting of the speakers and hearers.
’konteks sosial, (mengacu ke) hubungan sosial dan latar dari si pembicara kaitannya
dengan para pendengar.’
Tipe-tipe
konteks kelompok pertama hanya terdiri dari tiga tipe:
(a) konteks fisik (the physical context);
(b) konteks linguistik (the linguistic context) dan
(c) Konteks pengetahuan umum (the general knowledge context).
Kelompok kedua
mengklasifikasikan konteks atas empat tipe yaitu:
(a) konteks fisik (the physical context);
(b) epistemic context;
(c) linguistic context, dan
(e) social context.
Seandainya saya diperkenankan untuk memilih, tentu
saya akan memilih penjenisan tipe konteks yang kedua. Pilihan ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa penjenisan tipe kedua lebih lengkap jika dibandingkan
dengan penjenisan tipe pertama karena tipe kelompok kedua melibatkan juga
konteks sosial.
Untuk
memahami tipe-tipe konteks tersebut ada baiknya kita perhatikan kutipan
ilustrasi berikut.
“… dua orang,
berbicara keras, berjalan menuju ke salah satu bagian perpustakaan (konteks
fisik). Mereka duduk, dan masih berbicara keras, tapi tak seorang pun
mengatakan apa-apa kepada mereka berdua. Setelah sekitar lima menit, seseorang
di seberang meja mereka dengan sinis mengatakan: "Bicaralah sedikit lebih
keras! Aku rindu pada suara keras Anda...."
Para pendengar akan menafsirkan ucapan ini sebagai
permohonan bagi mereka berdua agar mereka tenang, meskipun fakta secara lingual
(harfiah) pembicara meminta mereka untuk berbicara lebih keras.
Fakta kontekstual tertentu membantu kita, ketika
tidak ada sinyal yang menyatakan, bahwa ini adalah permintaan untuk diam:
ucapan menyela pembicaraan mereka dan memecah keheningan antara mereka dan
orang lain (ini termasuk konteks linguistik).
Demikian pula dengan permintaan yang dibuat dalam
nada sarkastis itu (termasuk konteks linguistik); perpustakaan biasanya di mana
pun di dunia ini dikenal sebagai tempat yang tenang (termasuk konteks
epistemis), dan mereka berada di perpustakaan (termasuk konteks fisik).
Pertanyaan yang muncul, mengapa permintaan dengan
nada sarkastis itu harus ditafsirkan dengan makna larangan agar jangan
berbicara keras? Bukankah kalimat tadi berupa permintaan agar mereka berdua
berbicara lebih keras?
Jawabannya tentu berada pada tataran konteks sosial,
yang secara konvensional mengenal “ruh” dari kalimat permintaan tadi, karena
mereka semua berada dalam konteks sosial yang sama, dan mengenal pernyataan
yang sarkastis itu dengan baik dalam sistem sosial mereka.
EmoticonEmoticon